Tuesday, September 30, 2025

REVIEW CHAINSAW MAN THE MOVIE REZE ARC: MAPPA TAMPIL GILA-GILAAN DI LAYAR LEBAR


Absolute Anime Cinemaaaarggh!

MAPPA kembali memanjakan penggemar dengan film Chainsaw Man - Reze Arc, lanjutan canon dari serial animenya. Hasilnya? Sebuah pengalaman sinematik yang bukan hanya memuaskan dahaga fans CSM, tapi juga pecinta anime action secara umum.

Film ini mengadaptasi kisah Denji, pemuda polos yang berubah menjadi Chainsaw Man setelah bersatu dengan Pochita, iblis anjing kesayangannya. Kehidupan Denji yang penuh nafsu sederhana dan clueless romance mendadak berubah saat ia bertemu Reze, gadis ceria dan manis yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya. Kehadiran Reze yang memesona tentu membuat Denji klepek-klepek, meski di balik senyumannya tersimpan rahasia berbahaya.

Paruh pertama film terasa manis dan ringan, membawa penonton hanyut dalam godaan Reze layaknya Denji. MAPPA menyelipkan adegan mengejutkan yang cukup berani untuk ukuran film ber-rating 13+, seperti adegan semi-telanjang yang diakali dengan gaya seni unik, serta dosis brutalitas khas Chainsaw Man yang penuh darah dan mutilasi. Ketegangan mencapai puncak di paruh kedua dengan parade sakuga spektakuler: koreografi pertarungan yang gila-gilaan, transisi visual yang intens, dan setpiece megah yang benar-benar maksimal di layar lebar—apalagi jika disaksikan di IMAX. Meski demikian, penonton sensitif terhadap flashing light atau adegan bertransisi cepat mungkin akan merasa sedikit tidak nyaman.

Namun, Reze Arc bukan hanya tentang ledakan visual. Sentuhan emosional khas karya Tatsuki Fujimoto kembali terasa kuat. Karakter-karakter sekunder seperti Aki, Angel Devil, hingga Reze sendiri, mendapatkan ruang untuk menampilkan dilema batin mereka masing-masing. Dari kekhawatiran Aki akan sisa hidupnya, pergulatan Angel Devil soal makna keberadaan, hingga lapisan perasaan Reze yang tersembunyi di balik ledakan brutal. Semua berpuncak pada adegan akhir yang pahit sekaligus indah, meninggalkan penonton dengan rasa sesak namun penuh makna—sebuah ciri khas Fujimoto.

Pendek kata, Chainsaw Man - Reze Arc adalah tontonan wajib di bioskop. Sebuah pengalaman sinematik epik yang memadukan aksi brutal, visual spektakuler, dan emosi mendalam dalam satu paket. Tapi, jangan bawa adik atau anak kecil ya.

Rating: 9,5/10

REVIEW ALIEN EARTH: SAAT XENOMORPH BERTEMU PETER PAN & THE LOST BOYS




 

Alien Earth hadir sebagai entri terbaru dalam waralaba Alien, menghadirkan perpaduan elemen klasik dan tambahan “bumbu” baru yang memperkaya cerita. Selain isu perebutan aset dan kekuasaan antar korporat, serial ini tetap menjaga ciri khasnya: eksplorasi soal kemanusiaan melalui subplot android, cyborg, atau synth yang sudah menjadi signature franchise ini.

Cerita berfokus pada PRODIGY, korporasi yang berusaha menguasai sebuah kapal ekspedisi yang terdampar di Bumi. “Aset” yang mereka buru tentu saja adalah makhluk luar angkasa berbahaya yang mengancam manusia. Namun kali ini, variasi alien lebih beragam, tidak hanya Xenomorph atau Facehugger. Ada yang berbentuk seperti nyamuk hingga menyerupai tanaman kantung, bahkan hadir creature unik bernama The Eye yang memiliki karakter tersendiri.

Salah satu elemen paling menarik adalah peran synth, manusia buatan yang menjadi wadah bagi jiwa anak-anak yang telah meninggal. Kodrat mereka yang berada di antara manusia dan mesin, dipadukan dengan sifat kekanak-kanakan ala Peter Pan & The Lost Boys, menambah lapisan dramatis di luar teror Xenomorph. Porsi karakter dibagi dengan cukup seimbang, meski penonton awalnya harus menebak fungsi beberapa tokoh. Hilangnya kompas moral yang jelas juga membuat cerita lebih menantang: setiap karakter bisa melakukan apa saja, tanpa batasan hitam-putih.

Konflik korporasi yang ditanam sejak tiga episode awal sebenarnya menjanjikan, tetapi payoff di akhir justru lebih fokus pada pemberontakan para synth. Walau begitu, alurnya tetap menarik untuk diikuti. Bagi yang mengharapkan aksi brutal Xenomorph, mungkin harus bersabar karena serial ini banyak diisi dialog eksposisi tentang perebutan kekuasaan. Untungnya, kualitas akting para cast, termasuk Sydney Chandler (Wendy/Marcy), Samuel Blenkin (Boy), dan Babou Ceesay (Morrow), membuat tensi cerita tetap terjaga.

Secara keseluruhan, Alien Earth menutup delapan episodenya dengan cukup konklusif, meski masih menyisakan ruang untuk ekspansi cerita di masa depan. Serial ini menawarkan sesuatu yang segar untuk penggemar lama sekaligus bisa dinikmati penonton baru.

Rating: 7,5/10

DARI BUSAN KE INDONESIA, RANGGA & CINTA SIAP TEMUI PENONTON BIOSKOP

Film Rangga & Cinta akan segera tayang di bioskop Indonesia mulai 2 Oktober 2025, setelah melakukan pemutaran perdana di Busan International Film Festival 2025 dan mendapat sambutan positif. Diproduksi Miles Films, film ini disutradarai Riri Riza serta diproduseri Mira Lesmana, Nicholas Saputra, dan Toto Prasetyanto. Sebagai adaptasi dari film ikonik Ada Apa Dengan Cinta?, skenario ditulis ulang oleh Mira Lesmana bersama Titien Wattimena.

Dibintangi oleh Leya Princy sebagai Cinta dan El Putra Sarira sebagai Rangga, film ini juga menampilkan Jasmine Nadya, Kyandra Sembel, Katyana Mawira, Daniella Tumiwa, Rafly Altama, serta Rafi Sudirman. Latar ceritanya berada di Jakarta tahun 2001, menggambarkan kehidupan remaja SMA dengan nuansa awal 2000-an yang kental. Dari musik hingga gaya hidup, film ini menghadirkan pengalaman yang autentik dan dekat dengan penonton lintas generasi.

Kisahnya mengikuti perjalanan Cinta, siswi populer yang hidupnya berubah setelah bertemu Rangga, cowok misterius yang membuatnya bimbang antara persahabatan dan cinta pertamanya. Konflik semakin dalam saat sebuah kejadian menimpa sahabat Cinta, memaksanya memilih jalan yang akan menentukan hidupnya. Film ini menekankan nilai cinta dalam berbagai bentuk—antara pasangan, keluarga, sahabat, hingga cinta pada diri sendiri.

Sutradara Riri Riza menegaskan bahwa film ini dirancang untuk menyentuh kedalaman emosional penonton, sementara Mira Lesmana menyoroti semangat kolaborasi ratusan kru dalam mewujudkan produksi ini. Nicholas Saputra turut menambahkan harapannya agar film ini mampu membangkitkan energi muda dan mendapat tempat istimewa di hati masyarakat.

Para pemain pun menyambut gembira perilisan film ini, termasuk Leya Princy dan El Putra Sarira yang berharap penonton bisa merasakan kembali masa remaja penuh cerita manis. Didukung oleh brand seperti Compass, Indofood, Skintific, dan Amar Bank, Rangga & Cinta hadir sebagai The Rebirth of Ada Apa Dengan Cinta? yang siap menghibur sekaligus memberikan pengalaman sinematik penuh nostalgia.

Friday, September 26, 2025

TUKAR TAKDIR: TRAGEDI PESAWAT JADI DRAMA PENUH LUKA DAN HARAPAN

 


Tukar Takdir, film drama petaka pesawat terbaru, siap tayang di bioskop mulai 2 Oktober 2025. Dibintangi Nicholas Saputra, Marsha Timothy, dan Adhisty Zara, film ini mengisahkan tragedi pesawat Jakarta Airways 79 dengan 132 korban meninggal. Nicholas Saputra berperan sebagai satu-satunya penumpang yang selamat, menjadikannya pusat dari kisah penuh duka, amarah, dan perjalanan berdamai dengan takdir. Film ini merupakan kolaborasi Starvision, Cinesurya, dan Legacy Pictures, serta diadaptasi dari novel laris karya Valiant Budi.

Ditulis dan disutradarai Mouly Surya, Tukar Takdir menghadirkan ketegangan emosional sekaligus investigasi penyebab tragedi. Rawa (Nicholas Saputra), seorang programmer IT, selamat dari kecelakaan karena bertukar kursi dengan Raldi (Teddy Syach), suami dari Dita (Marsha Timothy). Pertemuan Rawa dan Dita memunculkan konflik emosional, karena Dita mempertanyakan mengapa suaminya harus meninggal sementara Rawa tetap hidup.

Selain itu, Rawa juga bertemu Zahra (Adhisty Zara), putri dari pilot pesawat yang turut menjadi korban. Rawa, Dita, dan Zahra dipersatukan oleh duka yang sama, namun masing-masing berusaha menemukan jalan untuk berdamai dengan kehilangan mereka. Hubungan ketiganya berkembang di tengah luka batin, simpati, dan rasa saling menopang dalam menghadapi trauma.

Mouly Surya menekankan bahwa film ini tidak hanya menyuguhkan visual dramatis dari sebuah kecelakaan pesawat, tetapi juga perjalanan emosional para korban yang ditinggalkan. Dengan dukungan jajaran pemain seperti Meriam Bellina, Marcella Zalianty, Roy Sungkono, Hannah Al Rashid, hingga Ringgo Agus Rahman, film ini menjanjikan dinamika yang kaya. Produser Chand Parwez Servia menyebut film ini sebagai genre baru yang belum pernah dieksplorasi di perfilman Indonesia, sekaligus refleksi bagaimana manusia menghadapi duka dan takdir.

Bagi para pemeran, Tukar Takdir menjadi pengalaman istimewa. Nicholas Saputra menyiapkan fisiknya agar sesuai dengan karakter Rawa, sementara Marsha Timothy mengaku perannya sebagai Dita memberi tantangan emosional yang mendalam. Adhisty Zara pun menghadirkan lapisan emosional kompleks lewat tokoh Zahra, anak yang berusaha menutupi kehilangan di balik senyuman. Dengan penyutradaraan matang, sinematografi kuat, serta riset mendalam, film ini siap membawa penonton pada pengalaman emosional yang intens sekaligus menyentuh hati.

Monday, September 22, 2025

REVIEW TO BE HERO X: DONGHUA YANG TANTANG MARVEL DENGAN CERITA SUPER CEPAT






Tahun ini, industri animasi Tiongkok kembali bikin kejutan lewat To Be Hero X, sebuah donghua dengan format webseries 24 episode yang mengusung konsep choose-your-own-hero ala MMORPG. Bedanya dengan franchise superhero besar seperti Marvel, yang butuh bertahun-tahun untuk menyatukan karakternya dalam satu semesta, To Be Hero X berhasil melakukannya hanya dalam hitungan minggu.

Setiap 3–4 episode, penonton akan diajak mengenal origin story dari berbagai superhero dengan gaya yang berbeda-beda—mulai dari yang tragis seperti E-Soul dan Nice, karakter imut seperti Lollie, hingga yang brutal seperti Dragon Boy. Dengan durasi sekitar 20 menit per episode, ceritanya terasa padat tapi tetap seru diikuti.

Konsep "Trust Value" yang Unik

Salah satu hal menarik dari To Be Hero X adalah sistem Trust Value—sebuah gelang virtual yang merepresentasikan seberapa besar kepercayaan masyarakat terhadap para pahlawan. Nilai ini memengaruhi popularitas hingga peringkat para hero. Namun, seiring berjalannya cerita, sistem ini mulai dimanipulasi dan menjadi sumber konflik yang memanas.

Di tengah hiruk pikuk para pahlawan, muncul satu karakter overpower misterius bernama “X”. Ia memiliki kemampuan memanipulasi dimensi, dan setiap kemunculannya ditandai dengan perubahan style animasi yang drastis. Mulai dari tampilan ala Arcane, anime tradisional, hingga gaya hand-drawn—semuanya hadir bergantian, menambah sensasi visual yang jarang ditemukan di seri animasi lain.

Visual Menawan, Cerita Tetap Punya Value

Walaupun gaya animasinya mencuri perhatian, To Be Hero X tidak jatuh ke jebakan style over substance. Fokus pada tiap karakter memberi bobot cerita yang bisa direnungkan penonton. Meski begitu, di bagian finale ada sedikit “retcon” yang lebih mengarahkan semua cerita pada konklusi besar semesta To Be Hero X.

Untungnya, eksplorasi gaya animasi yang nyeleneh itu hanya hadir di awal dan akhir, sehingga tidak terlalu sering muncul. Karena jujur saja, kalau setiap episode penuh dengan transisi animasi ekstrem, penonton bisa cepat lelah.

Sebuah IP yang Terus Berkembang

Bagi yang belum tahu, To Be Hero X sebenarnya adalah bagian dari IP To Be Hero, yang sebelumnya sudah melahirkan To Be Hero dan To Be Heroine. Walaupun tiap seri berdiri sendiri tanpa keterkaitan cerita, benang merahnya tetap sama: sebuah eksplorasi unik tentang konsep kepahlawanan.

Season 1 To Be Hero X sudah rampung dan bisa kamu tonton secara legal di Crunchyroll, atau gratis di channel YouTube Bilibili. Dengan sajian yang segar, konsep unik, dan visual penuh kejutan, seri ini layak banget buat masuk ke daftar tontonan kamu.

Rating: 9/10

REVIEW MARYAM: JANJI DAN JIWA YANG TERIKAT: TEROR KESETANAN, TEKNIS KUAT, TAPI MASIH ADA YANG HAMPA




Maryam bercerita tentang seorang anak bernama Maryam yang sejak lahir sudah “ditaksir” oleh Jin Ifrit. Kehadiran makhluk gaib ini menjadi teror yang tidak berhenti, karena Ifrit mampu menyerupai wujud Maryam dan memanipulasi orang-orang terdekatnya. Premis ini menjadikan film terasa intens, apalagi masih mengusung tema individu yang memiliki “kelebihan” bisa melihat setan.

Dari sisi teknis, Maryam menawarkan pengalaman menonton yang cukup solid. Teknik kamera dengan banyak close-up, ditambah editing yang rapi, membuat perhatian penonton selalu terpaku. Ada sensasi tertentu yang tercipta, seakan-akan kita ikut terjebak dalam ruang horor Maryam. Detail pada dialog dan ayat berbahasa Arab juga menambah lapisan keotentikan. Bagi sebagian orang, ini mungkin langsung mengingatkan pada film Qodrat. Bedanya, film ini tidak menampilkan banyak adegan aksi, melainkan menggantinya dengan momen gore yang disturbing, menjadi atraksi tersendiri bagi penggemar horor.

Salah satu highlight ada pada sekuens kesurupan di kelas. Adegan ini sebenarnya punya potensi lebih kuat jika digarap lebih berani (mungkin ada versi deleted scene?). Selain itu, beberapa momen self-harming juga berhasil menciptakan rasa tidak nyaman, menegaskan ancaman Jin Ifrit terhadap Maryam.

Dari sisi akting, para pemeran pendukung juga tampil maksimal. Dua teman Maryam yang hobi nyinyir berhasil mencuri perhatian lewat energi dan dialog tajam mereka. Para figuran pun all-out, terutama saat menjadi korban Ifrit, meskipun hanya lewat ekspresi wajah. Semua ini membuat atmosfer film terasa hidup.

Namun, tetap ada rasa “hampa” yang menyelinap di balik teknis dan akting yang sudah bagus. Mungkin karena kurangnya dinamika, padahal ada sosok komika Rahmet Ababil yang sebenarnya bisa saja memberikan sedikit humor untuk mencairkan suasana. Jika itu memang pilihan estetika, ya masih bisa dimaklumi.

Secara keseluruhan, Maryam adalah horor lokal dengan treatment berbeda yang cukup efektif menghadirkan intensitas. Meski tidak sempurna, film ini tetap menawarkan pengalaman menonton yang menggigit, terutama bagi penonton yang suka horor psikologis bercampur gore.

Rating: 7/10

Wednesday, September 17, 2025

HOROR JEPANG DOLLHOUSE TAYANG SERENTAK DI BIOSKOP INDONESIA

Shinobu Yaguchi, sutradara Jepang yang dikenal lewat film drama dan komedi, untuk pertama kalinya menantang diri dengan genre horor lewat film DOLLHOUSE. Film ini dibintangi Masami Nagasawa, yang sebelumnya bekerja sama dengan Yaguchi dalam Wood Job! (2014). Berbeda dengan horor klise tentang boneka seram, Yaguchi menghadirkan pendekatan yang lebih mendalam dengan mengangkat ketakutan orang tua akan kehilangan anak, serta menyisipkan nuansa budaya dan religius khas Jepang.

Kisahnya berpusat pada pasangan Yoshie (Masami Nagasawa) dan Tadahiko (Koji Seto) yang kehilangan putri mereka, Mei. Dalam kesedihan, mereka menemukan boneka mirip Mei yang awalnya membawa rasa tenang. Namun, saat putri kedua mereka, Mai, mulai bermain dengan boneka tersebut, berbagai peristiwa aneh mulai menghantui keluarga. Boneka itu selalu kembali meski sudah dibuang, dan rumah mereka perlahan dipenuhi bisikan misterius yang menebar teror.

Film ini tayang perdana di Jepang pada 13 Juni 2025 dan meraih sambutan hangat, bahkan memenangkan Grand Prize sebagai Film Terbaik di Fantasporto International Festival 2025. DOLLHOUSE juga menuai pujian saat pemutaran di Far East Film Festival, Italia. Diproduksi TOHO Pictures dan didistribusikan Intersolusindo Film, DOLLHOUSE mulai tayang serentak di Indonesia pada 17 September 2025 di jaringan bioskop CGV, Cinepolis, Golden Theater, dan LTD9 Cinema.