( Bagi penggila film belum menonton film ini, paragraf berikutnya akan mengandung spoiler. )
Di awal film kita sudah langsung dibawa menyaksikan melalui rangkuman dokumenter kemunculan pertama kali Godzilla tahun 1954 dan militer merahasiakan sebuah misi uji nuklir dari publik untuk memusnahkan Godzilla. Dan waktu melompat 45 tahun kemudian pada tahun 1999 , ilmuwan Daisuke Serizawa dan Vivienne Graham ( Ken Watanabe dan Sally Hawkins ) menemukan dua kepompong berbentuk polong dan kerangka besar di sebuah tambang di Filipina . Tak lama setelah itu di Janjira,tempat pengolahan nuklir dekat Tokyo , Jepang yang tiba-tiba diserang bencana gempa bumi , memicu krisis yang membunuh istri teknisi nuklir Joe Brody ( yang sangat baik dimainkan oleh Bryan Cranston ).
15 Tahun Kemudian....
Dihantui kejadian kecelakaan yang menewaskan sang istri, Joe Brody terobsesi pada gempa yang juga mempengaruhi hubungannya dengan anak tunggalnya Ford Brody ( Aaron Taylor-Johnson ) yang berkarier di bidang militer . Joe Brody merasa yakin bencana gempa yang menimpa pabrik pengembangan nuklir tempat dia bekerja 15 tahun lalu bukan diakibatkan oleh kecelakaan biasa, tapi ada sesuatu yang lebih besar dan lebih berbahaya akan segera muncul dan yang pada akhirnya dugaan Joe Brody itu terbukti, dan sesuatu yang bisa dikatakan lebih dari kata buruk itu muncul kepermukaan dan mengancam jutaan nyawa manusia.
Seperti yang sudah saya katakan diatas sebelumnya, lupakan segala hal yang sudah penggila film saksikan di Godzilla versi Emmerich, karena film ini yang dalam penggarapannya sendiri memakai pedekatan cerita dari film originalnya Gojira ( 1954 ). Gareth Edwards yang baru menyutradarai 1 film sebelum meyutradarai Godzilla ini sangat berhasil memaksimalkan semua kecanggihan efek visual saat ini yang akan memberikan efek merinding setiap bencana yang ditampilkan dalam film ini ( Oh yeah..., adegan Tsunami itu memang sangat mengerikan ). Dan tentu saja ketika satu persatu 3 makhluk raksasa utama dalam film ini muncul, sulit rasanya jika tidak memberika pujian pada tim Gareth Edwards yang sudah berhasil membuat penonton menahan nafas dan memerikan tepuk tangan dalam studio setiap kemunculan mereka bertiga.
Jika kamu sudah menonton Monsters, karya dari Gareth Edwards sebelumnya, kamu juga akan merasakan ada hal yang sama yang dia bawa pada Godzilla, menggunakan sudut pandang keluarga ditengah bencana besar yang menimpa keluarga ini, 20 menit awal kita akan melihat dari sudut pandang Joe Brody dan Bryan Cranston sangat berhasil membawa penonton masuk dalam karakternya ( Percayalah, kamu tidak bisa untuk ikut sedih jika melihat dia menangis entah itu sebagai Walter White ataupun sebagai Joe Brody, dia memang aktor hebat ). Setelah 20 menit, tongkat estafet perjalanan cerita film ini berpindah pada anak tunggalnya Ford Brody yang ingin segera kembali menemui istri Elle Brody ( Elizhabeth Olsen ) dan anaknya, yang sayang karakter yang dimainkan oleh Aaron Taylor-Johnson belum terlalu maksimal sebagai seorang suami ataupun sebagai seorang ayah. Dan setidaknya kekurangan yang ada dalam karakter-karakter ini bisa tertutupi dengan segala hal 3 makhluk raksasa utama kita, 2 makhluk yang disebut Muto, dan lalu tentu saja kemunculan Godzilla, dan juga bagaimana luar biasanya visual keadaan kota yang hancur efek dari pertarungan mereka bertiga yang membuat kita berdoa semoga mereka bertiga hanya ada dalam film saja.
Pada akhirnya, Godzilla versi terbaru ini adalah sebuah film yang sudah memenuhi syarat popcorn movie yang perlu saya sebutkan datang dan tonton saja, lupakan segala hal Amerikanisasi yang ada dalam film ini, hei....ini Hollywood. Sebuah film yang sangat dianjurkan untuk saksikan di layar bioskop untuk pertama kalinya.