Apa yang diuntungkan dari aksi terorisme ? Menurut Hank Prunckun (2010) satu yang diuntungkan tentu saja aksi teror itu sendiri yang mampu mengdongkrak eksistensi teror dengan publikasi media dan sejenisnya. Selain itu aksi teror selalu dikaitkan dengan pesan-pesan politik, dan apabila teror tersebut mampu menakutkan sebagian besar masyarakat, maka pesan politiknya dapat dikatakan tersampaikan, terlebih lagi-lagi dengan publikasi media.
Bagaimana cara mencegahnya? Salah satu cara pencegahan dengan tindakan kotraterosime, dan metode yang paling populer digunakan adalah metode PPRR (Prevention, Preparation, Response, dan Recovery) Planning. Indonesia sebagai negara yang sudah berkali-kali terkena aksi teror cukup mempunyai pengalaman dalam penanganan aksi teror terutama dalam prevention, preparation, dan response.Untuk fase recovery masih menjadi pertanyaan dan perlu usaha dan aksi nyata lebih jauh dari pemerintah bagaimana memulihkan korban aksi terorisme untuk kembali hidup normal.
Hal inilah yang diangkat dari kisah 22 Menit. Bagaimana kesigapan dari pihak polisi dalam memberantas terorisme berdasarkan kisah pengebomam yang terjadi di ibu kota tahun 2016 silam.Thamrin adalah saksi bisu lokasi pengeboman yang dilakukan teroris yang memakan korban 7 nyawa (termasuk teroris tersebut). Kesigapan polisi dipertaruhkan dalam aksi pengeboman tersebut dan mereka berhasil menaklukkan teroris hanya dalam waktu 22 menit.
Dikisahkan Bripda Ardi (ArioBayu) adalah seorang family-man yang menyayangi keluarganya tetapi sangat sigap dalam menjalankan tugasnya di kepolisian.Suatu pagi pada tanggal 14 Januari 2018, Bripda Ardi mendapatkan informasi mengenai adanya perampokan, tanpa terduga saat melewati daerah Thamrin, ternyata ada pengeboman di daerah pos polisi dan gerai kopi dekat Sarinah. Di pihak lain, seorang office boy suatu perkantoran bernama Anas (EnceBagus), hendak membantu kakaknya, Hasan (Fanny Fadilah) untuk bisa bekerja kembali di daerah perkantoranThamrin. Anas yang tengah membeli makanan atas pesanan karyawan di kantornya ternyata terjebak dalam aksi terorisme saat itu. Lalu dikisahkan pula Firman (Ade Firman Hakim) sebagai polisi lalu lintas sedang bertugas mengurusi lalu lintas kawasan Thamrin. Hatinya galau karena permasalahan pacarnya Shinta (Taskya Namya) yang tidak mau diajak komunikasi selama beberapa hari belakangan.Tanpa disangka Firman pun terjebak dalam aksi terorisme saat itu. Terakhir ada Dessy (ArdinaRasti) wanita karir yang terkena tilang di kawasan Thamrin oleh Firman, terpaksa dibawa kepos polisi untuk penanganan lebih lanjut. Dan dia pun terjebak dalam aksi terorisme di hari naas tersebut.
Ya, ada setidaknya 4 penggalan kisah yang terjalin dalam film berdurasi kurang lebih 75 menit ini. Tokoh-tokoh dalam 4 kisah tersebut bertemu dalam satu muara aksi terorisme di Thamrin. Ada pesan kemanusiaan dalam kisah-kisah ini, walaupun hanya sekelumit, tetapi pesan kemanusiaan dari berbagai macam sudut pandang sudah digambarkan dengan singkat dan padat. Saking padatnya penonton menjadi tidak fokus untuk memilah kisah yang saling bertabrakan ini. Belum lagi paruh kedua film malah berganti alur menjadi film aksi kontra terorisme yang sebagian besar dimainkan oleh Ario Bayu. Ketidak-relevanan dalam bercerita di film 22 Menit ini menjadi salah satu faktor yang melemahkan film. Belum lagi dari bagian drama di awal film ada beberapa naskah yang cukup kaku, terutama dari pihak keluarga Bripda Ardi.
Keunggulannya ternyata ada di aksi 30 menit terakhir yang menegangkan. Penggambaran para polisi yang responsif menanggulangi terorisme sangatlah heroik. Untuk membekuk para teroris, polisi tidak tanggung-tanggung, hampir semua sumber daya yang ada digunakan untuk menaklukan teroris. Penonton pun akhirnya dibuat kembali percaya bahwa para polisi memang sangat responsif dalam hal ini dan juga tidak main-main. Pesan yang diambil dari bagian ini mampu membangkitkan argumen untuk masyarakat bahwa kita tidak boleh takut terhadap teroris.
Duo sutradaraPanjidan Myrna yang bekerjasama dengan penulis naskah Husein M. Atmojo & GunawanRahatja memang bermaksud mengangkat nilai-nilai kemanusiaan yang terkait dengan peristiwa tersebut. Meski bersumber dari kisah nyata, Panji menegaskan bahwa 22 Menit tidak dimaksudkan sebagai dokumentasi kisah nyata dari kejadian tersebut. Penegasan dalam memberikan pesan #KamiTidakTakut adalah inspirasinya untuk membuat film ini.
Sedangkan Ario Bayu mengaku bahwa kondisi saat syuting film cukup dibuat mencekam, apalagi kalau dia menjadi saksi yang merasakan peristiwa nyata pada saat itu, pasti akan benar-benar mengerikan. Dia berharap film 22 Menit bisa menjadi pemantik diskusi untuk tema-tema terorisme.
Penggabungan unsur drama dan aksi yang tidak halus sangat terasa, 22 Menit seperti ingin sekali mengagung-agungkan para kepolisian dalam memberantas teroris, padahal pesan yang besar dalam film ini adalah #KamiTidakTakut. Akan lebih baik cara menunjukkan pesan #KamiTidakTakut melalui pendekatan yang lebih manusiawi / humanis. Peristiwa berakhir dengan singkat, tapi insiden mematikan tersebut mampu mengubah hidup bagi orang banyak.
Penyelesaian terakhir untuk me-recover dari kisah traumatis terorisme tampaknya masih belum menjadi prioritas utama pemerintah. Begitu juga untuk bagian finishing dari film 22 Menit yang tampaknya masih belum matang dan terkesan buru-buru. Hal ini bisa menjadi bumerang bagi film karena pesan besar yang diharapkan tidak tersampaikan sehingga menjadi kisah yang belum usai.
(By Ibnu Akbar)