Nama Tate Taylor mencuat ke permukaan ketika dia melempar The Help ke publik yang laris secara tangga box office maupun di mata kritik. Film bertemakan rasisme itu bahkan mengantarkan ketiga aktrisnya ke perhelatan Oscar, dan nama Octavia Spencer melaju hingga sekarang tanpa henti. Spencer bahkan menang banyak saat ia memproduseri Green Book yang begitu sukses di lapangan. Spencer yang selama ini kita kenal dengan karakter baik-baiknya, di film bertajuk Ma ini, Spencer memutarbalikkan keklisean karakter yang seriang ia bawakan. Tidak ada Spencer yang suportif layaknya di Hidden Figures dan The Shape of Water.
Ma mengangkat tema pembalasan dendam akibat sakit hati atas korban bully di zaman sekolah. Octavia Spencer adalah Ma, yang dengan friendly mengajak sekumpulan anak-anak ‘bandel’ untuk berpesta di rubanah miliknya. Ma yang awalnya hanya menipu Maggie dan teman-temannya, lambat laun menghipnotis lebih banyak lagi remaja nakal untuk mabuk dan pesta di rumahnya. Klimaks muncul ketika tabir masa lalu mulai muncul dan melibatkan para pelaku bully termasuk Ibu Maggie.
Menonton film Ma, memori saya langsung menuju ke film Misery. Memakai pola yang sama, dengan Kathy Bates sebagai tonggak filmnya. Tanpa bermaksud membandingkan, bagi saya Ma sangat jauh untuk sekadar menyamai kualitas Misery. Spencer mungkin ingin membuktikan bila dia bukan aktor spesialis pendukung yang lemah lembut nan tegar, Ma adalah pembuktian yang pas. Kendati melihat Octavia Spencer menjadi jahat tidak serta merta meyakinkan saya, namun kejanggalan tersebut ditepiskan oleh Spencer. Kejahatan yang dirangkai ia mainkan dengan begitu ekspresif. Aktor lain yang menurut saya sangat mencuru perhatian adalah Juliette Lewis. Beliau berhasil mengemban tugas sebagai orang tua tunggal yang protektif.
Sebenarnya, membawa premis balas dendam bukanlah hal baru. Ma mengambil pola itu tanpa ada modifikasi yang terlalu signifikan. Alur Ma terkesan bertele-tele dan begitu timpang. Selain Ma sendiri, tidak ada karakter yang kuat secara penceritaan. Saya tidak bisa berempati ke para remaja atas kebodohan mereka sendiri. Karena apa, sebab mereka kembali mengulang kunjungan tersebut walaupun sudah diperingatkan sendiri oleh ancaman Ma. Sungguh sulit menoleransi naskah yang sangat tipis seperti ini. Belum lagi motif Ma membiarkan anaknya mendekam di rumah terlalu lemah untuk dijadikan kejutan di akhir film. Tapi, untuk film yang memang mengkhususkan dirinya berdiri di genre thriller, saya akui adegan pembantaian terakhir betul-betul mengejutkan dan sungguh berani bila saya melihat arah menuju ending sangat halus dan tidak ada kesan brutalnya.
Akhirnya Ma hanya menjadi pembuktian singkat dari Octavia Spencer walaupun secara keseluruhan film bisa dikatakan gagal membangun tensi dan meninggalkan kesan horor dengan cara sederhana. Tate Taylor adalah penanggungjawab tunggal membiarkan konklusi naskahnya berjalan seadanya.
Overall: 6/10
(By: ruttastratus)