Friday, September 27, 2019

ULASAN: DANUR 3 'SUNYARURI'




Berbicara film horor Indonesia tidak akan cukup barang sehari. Kemunculan Jelangkung di era bangkitnya perfilman kita membawa angin segar dan seakan menjadi gerbang pembuka. Hanya sebentar, horor akhirnya menjadi komoditas utama para produser untuk menjaring penonton dan mengeruk pundi uang sebanyak-banyaknya. Bukan hanya karena film horor laris di pasaran, tetapi juga pembuatan film horor (asal jadi) dibuat dalam tempo yang singkat. Mesin penghasil uang ini hingga sekarang pasti hadir setiap bulannya di bioskop. Danur adalah contoh kecil. Berawal di tahun 2017, Danur sukses mendata dirinya sebagai salah satu film terlaris di tahun itu. Awi Suryadi dan tim tersenyum lebar, dan kehadiran Prilly Latuconsina betul sekali memboyong para fans untuk menonton filmnya. Berulang ke 2018, lagi-lagi Danur 2 memenuhi gedung bioskop dan kembali menggembungkan kantong rekening para pembuatnya.



Hadirlah Danur 3, Risa (Prilly) masih menjadi tokoh sentral dengan kelima teman hantu ciliknya. Tinggal berdua bersama adiknya, Risa yang seorang novelis berada di titik geram dengan mereka karena selalu berulah terutama pada saat teman Risa sedang berkumpul di rumahnya. Emosi membuncah saat Prilly akhirnya ingin mereka pergi, secara kebetulan di detik itu juga kelima hantu cilik tadi dijegal oleh hantu lainnya yang akan diceritakan pada akhir film. Ya betul, film ini secara berani memberikan twist ending, padahal bobot cerita awal untuk mengarah ke ending-pun masih butuh digodok lagi agar matang dan tidak antiklimaks seperti yang ada di filmnya saat ini. Motif antagonis terlalu lemah untuk menanam dendam dan menjadi alasan utama ia bersikap seperti itu. Karakter Risa tidak diupayakan menjadi sedikit lebih maju dari dua seri sebelumnya, padahal Risa pintar tetapi tetap saja hal-hal bodoh yang memicu tragedi tetap dilakukan. Ini belum terhitung adegan-adegan konyol khas film horor di mana mereka mendekati sumber onar yang pasti nantinya akan merugikan diri mereka sendiri.



Sulit untuk menyukai film ini bila tidak ada dukungan teknis yang lumayan berjasa di film ini. Pergerakan kamera saat menampilkan momen-momen menyeramkan dan aba-aba untuk adegan menakutkan bisa dibilang cukup efektif. Jumpscare juga ada beberapa yang tepat sasaran, terutama adegan Risa dengan baskom penadah bocor hujan. Bayangkan, bila hal-hal kecil yang saya sebutkan tadi juga nihil, saya tidak menjamin akan menghibahkan waktu saya untuk menulis review ini. Saya menyukai personaliti Prilly Latuconsina, berharap akan lebih baik dari Danur 1 dan 2, saya kembali berjudi waktu untuk melihat perubahan apa yang disuguhkan Prilly dan Danur 3-nya. Alih-alih pengembangan karakter dan cerita, yang saya dapatkan Prilly tetap si Risa yang kikuk dan bingung mau melakukan apa padahal insight ini sudah ia terima sejak dulu kala. Terakhir saya menonton Prilly di sebuah proyek film adalah Matt & Mou yang tak lebih baik dari film ini. Sangat disayangkan, karena Prilly memiliki potensi besar untuk mengasah aktingnya lebih lagi.



Tapi tenang, Prilly bukan satu-satunya yang bermain buruk. Ingat antagonis yang saya singgung di atas tadi? Antagonis itu diperankan dengan sangat lemah. Sudah tidak ada motif, tidak ada nyawa pula. Make-up hantu-hantuan di film ini berbicara jauh lebih banyak daripada akting mereka berdua di adegan puncak. Belum lagi aktor yang menjadi kekasihnya Risa, dan yang paling kasihan adalah karakter tempelan teman kerja pacarnya Risa yang diarahkan untuk menjadi sumber kekacauan dan dituding akan menjadi puncak permasalahan. Semua terlihat kosong secara naskah, dan terlihat monoton di depan layar.



Produk laris amat sayang dihentikan begitu saja. Dengan tambahan 3 di ujung judul, ada harapan film Danur 3 adalah seri terakhir. Namun, mengingat penonton membludak di hari pertama perilisannya, bukan tidak mungkin akan ada Danur 4, 5, dan seterusnya hingga penurunan pada angka jumlah penonton. Tidak ada yang salah dalam berjualan, karena produsen hanya ingin barang dagangannya laku. Namun, ibarat makanan, apakah yang dijual itu sehat untuk pembeli, apakah ada value tinggi yang tidak akan timbul rasa penyesalan setelah membeli barang tersebut, dan apakah akan terus-terusan melempar makanan setengah jadi. Kadang produsen tidak berpikir hingga ke perut dan otak konsumen. Selagi sehat secara komersil, esensi sebuah film itu sendiri akan dipatahkan begitu saja. Saya berharap sekali pola murahan seperti ini diputuskan mata rantainya. Saya diam sejenak, dan berpikir kembali. Pola seperti inilah yang masih digemari dan berbondong-bondong dicari penonton saat memilih film di depan loket. Simalakama. Selamat menonton.


Overall: 4/10
(By: ruttastratus)

Thursday, September 26, 2019

ULASAN: GOOD BOYS












Mengamati filmografi seorang Jacob Tremblay paska peran kontroversialnya di Room, cukup mengesankan. Sejak saat itu, ia tidak pernah absen bermain film setiap tahunnya. Tidak semuanya sukses, namun masih bisa dikatakan berhasil khusus untuk penampilannya yang selalu dipuji kritikus. Terakhir Tremblay mendapat siraman pujian saat menjadi bocah cacat di Wonder. Sayang sekali, peran di film yang diprediksi akan banjir award karena ditangani oleh Xavier Dolan, hilang tanpa arti karena The Death & Life of John F. Donovan seakan mati tepat saat filmnya diputar perdana di Cannes 2 tahun lalu. Sebelum munculnya Doctor Sleep bersama Ewan McGregor yang kabarnya mendapat sambutan meriah, Tremblay juga bermain di komedi dewasa yang didanai oleh Seth Rogen salah satunya, di tajuk Good Boys.



Tremblay adalah satu dari 3 tokoh utama anak SD yang beranjak remaja. Mulai penasaran dengan hal-hal yang berbau seks dan kenakalan lainnya. Menguber cinta monyetnya dengan segala cara, hingga pada suatu masa ketiga anak tengil ini berada di tengah kasus yang harus melibatkan diri mereka ke segala penjuru kota, termasuk harus berhubungan dengan penjaja narkoba dan polisi setempat. Sekilas cerita tersebut masih lumrah di pikiran bahwa anak SD mampu mengocok perut, sekali lagi bila cerita tadi masih tertuang di atas kertas. Setelah ditransfer ke arah audiovisual, cerita tadi menjadi semakin brutal dan vulgar, mengingat segala bentuk keonaran tadi dilakukan oleh anak kecil seumuran sekolah dasar. Naskahnya menjadi domino bagi filmnya sendiri. Bila dimainkan oleh para remaja atau pra dewasa, film ini akan menjadi biasa saja karena sudah banyak tema serupa yang diangkat, dan bila dipraktekkan oleh anak berusia di bawah 15 tahun menjadi sangat aneh seperti yang digambarkan di Good Boys.



Saya tidak bohong, film ini sangat lucu. Tapi, apakah saya bisa menerima lelucon mereka? Tidak. Ya, karena semakin kuat ketawa saya, semakin besar pula perasaan aneh dan ketidaknyamanan saya terhadap filmnya. Hal ini akan menjadi beda bila, seperti yang saya katakan tadi, perkataan dan perbuatan bodoh dan kotor di film ini dilakukan oleh minimal anak SMP menjelang SMA. Lalu saya kembali mengingat siapa dalang di belakang layar Good Boys. Tertera nama Seth Rogen yang memang sudah ahlinya di komedi jorok seperti ini. Cuci tangan film ini seolah kejadian-kejadian ekstrim di Good Boys masih di dalam taraf wajar lah yang membuat saya semakin tidak bisa menerima filmnya. Good Boys sampai akhir detik tidak berusaha memperbaiki kejanggalan-kejanggalan yang ada. Sehingga, drama bocah yang menyelimuti film hanya menjadi kamuflase agar ada tambahan durasi.



Jacob Trembay dan para aktor cilik lainnya berhasil bermain bagus. Trio tokoh utama kita (saya menyingkirkan rasa ketidaknyamanan pribadi), 'mampu' menelan mentah-mentah adegan per adegan dewasa di film ini. Semoga mereka pada kenyataannya juga paham apa yang mereka lakukan di sini. Sepertinya dan seharusnya mereka paham. Saya mengharapkan porsi Will Forte cukup banyak dan penting seperti Owen Wilson menjadi bapaknya Tremblay di Wonder, sayang sekali Forte di sini tak lebih hanya seorang kameo yang kehadirannya bisa digantikan oleh aktor tak terkenal sekalipun. Saya berada di titik yang tidak begitu peduli debut penyutradaraan Gene Stupnitsky, karena tidak ada yang begitu menonjol dari film ini yang bisa dibanggakan selain para pemain bersama joke cabulnya.



Saat Knocked-Up hadir, saya tidak menyangka akan selucu itu. Ada unsur tanggung jawab di dalam kotornya lawakan dan karakter utama di film itu. Nama Seth Rogen menjadi tinggi, diikuti dengan keberhasilan Pineapple Express dan Sausage Party. Namun, pada akhirnya dia mengiyakan saat ada cerita seperti Good Boys untuk didanai, saya kembali meragukan tanggung jawab tadi. Apakah ia memang ingin menyampaikan bahwa memang begini kehidupan anak SD di sana sekarang ini, atau seperti yang saya bilang tadi bahwa hal ini dilakukan karena mereka bosan cerita semacam ini dibawakan oleh kaum remaja? Bila saja film ini fokus ke cinta monyetnya, melebarkan hubungan para bocah dengan kedua orang tuanya (apalagi Good Boys menyerempet sedikit masalah perceraian dan dampak bagi sang anak), tanpa disisipi hal-hal berbau sex toys dan narkotik, saya yakin sekali Good Boys bisa menjadi sajian yang memikat. Selamat menonton.

Overall: 6/10

(By: ruttastratus)

ULASAN: THE INFORMER





Film bergenre crime thriller termasuk yang sangat sering dan cukup banyak diproduksi dan ada banyak ratusan judul film sejenis The Informer. Walau pemberian judulnya termasuk generik namun kehadiran nama-nama aktor/ aktris top seperti Joel Kinnaman, Ana de Armas, Rosamund Pike, Common, dan Clive Owen tentu membuat penasaran penonton untuk menyaksikan film ini. Film ini merupakan adaptasi novel Three Seconds karya Anders Roslund and Börge Hellström dengan setting tempat yang berpindah dari Stockholm ke New York. The Informer dirilis di UK pada tanggal 30 Agustus 2019 oleh Warner Bros Pictures dan rencana dirilis di US pada 10 Januari 2020. Film ini disutradarai oleh Andrea Di Stefano, ia juga mengerjakan screenplaynya dengan dibantu oleh Matt Cook and Rowan Joffe.



The Informer bercerita tentang seorang mantan tentara Special Ops, Pete Koslow (Joel Kinnaman) yang pernah dipenjara akibat melindungi istrinya Sofia (Ana de Armas) dari insiden perkelahian di bar. Koslow mendapat kesempatan pembebasan bersyarat dengan bekerja diam-diam sebagai informan FBI di bawah pengurusnya Wilcox (Rosamund Pike) dan atasan Wilcox, Montgomery (Clive Owen). Tugas terakhir Koslow adalah menjatuhkan bos narkoba terbesar yang berjulukan Sang Jenderal (Joanna Kaczynska). Namun suatu kali saat rencana penyergapan sedang dilakukan, Koslow menemukan dirinya terjebak dalam situasi tidak diduga. Seorang polisi anti-narkotik NYPD yang sedang menyamar tewas akibat penyamarannya terbongkar saat sedang bertransaksi dengan anak buah Sang Jenderal. Akibat kejadian tersebut, Sang Jenderal memerintahkan Koslow memanfaatkan insiden tersebut agar Koslow kembali ke penjara Bale Hill untuk mengendalikan peredaran narkoba dari dalam. Mendengar rencana tersebut dari Koslow, FBI ingin menggunakan momen tersebut untuk meringkus Sang Jenderal sekaligus sebagai jaminan bahwa pembebasan bersyaratnya tetap berlaku. Koslow menyadari bahwa kembali ke dalam penjara adalah hal yang tak terhindarkan. Akankah ia sanggup menuntaskan misinya dan berhasil menyelamatkan keluarganya di tengah himpitan tiga pihak yang tengah bertikai, yaitu FBI, NYPD, dan gembong narkoba?



Dalam film berdurasi 113 menit ini alur ceritanya tergolong cukup lambat di awal – awal film dan ketika memasuki bagian konklusi menjadi kurang bertenaga padahal setting pacenya sudah pas sedari awal film. Premis cerita film dibawakan perlahan dengan plot berlapis dan konflik yang semakin meningkat sepanjang cerita bergulir. Terasa sekali aspek drama diberi porsi cukup banyak dalam film ini dibandingkan level aksi dan kekerasan yang seharusnya bisa lebih mencekam. Hal yang sangat menonjol dalam film ini adalah akting para pemainnya terutama Joel Kinnaman, yang menjadi jiwa dan motor penggerak dari film ini. Film ini cukup berfokus pada pengembangan karakter utamanya namun untuk karakter-karakter pendukung terasa lemah dan kurang dimaksimalkan. Jika anda familiar dengan film-film drama kriminal penuh intrik seperti The Departed, The Town, atau Training Day terasa bahwa level bahaya yang dihadapi tokoh utama semakin meningkat dan divisualisasikan sesuai porsinya namun dalam The Informer level bahaya yang sudah diset sedari awal film nampak kehilangan taringnya ketika memasuki adegan tersebut. Level kebrutalan mafia di mana Koslow terlibat terasa biasa saja seakan sang sutradara hanya ingin menunjukkan bahwa gembong narkoba pimpinan Sang Jenderal adalah penjahat yang terkenal dengan status kejam dan brutal namun pada praktiknya hal tersebut tidak pernah ditunjukkan secara gamblang dalam film. Untungnya dari segi aksi yang ditampilkan cukup mampu meningkatkan tensi menonton dan membuat penonton menebak-nebak apa tindakan Koslow, Wilcox dan Montgomery selanjutnya terlebih ketika keadaan berjalan di luar rencana. Kehadiran Opsir Grens (Common) membuat dinamika cerita semakin menarik karena penonton dihadapkan dengan konflik banyak pihak yang dibuat tidak sederhana dan cukup mengandung twist.



Dari segi cast, Joel Kinnaman boleh dibilang tampil sangat cemerlang. Dia mampu menampilkan emosi di tiap adegan dengan baik mulai dari penyamaran sebagai double agent yang bekerja untuk FBI dan juga mafia serta sebagai seorang family man yang menyayangi dan melindungi keluarganya. Chemistry yang ditampikan bersama Ana de Armas juga cukup organik. Ana de Armas sendiri tampil sebagai istri yang menyayangi suami dan anaknya namun karakternya hanya sebatas itu saja. Clive Owen dan Rosamund Pike semestinya bisa lebih dimaksimalkan ketimbang peran mereka yang cukup generik sebagai penegak hukum. Rosamund Pike sedikit lebih baik karena screen time dan interaksinya dengan Koslow membuat kita percaya bahwa dia adalah polisi yang punya hati. Untuk Common, ia bermain sangat baik lewat penampilannya sebagai polisi NYPD yang taat hukum dan mencurigai keterlibatan FBI dan Koslow dalam pembunuhan rekannya. Hal yang disayangkan adalah eksplorasi karakter Sang Jenderal (Joanna Kaczynska) yang terasa hambar ketika menjelang penghujung film padahal karakternyalah benang merah dan inti konflik semua pihak yang bertikai dalam cerita film ini.



Isu peredaran narkoba dalam penjara dan kerasnya kehidupan dalam penjara di New York tergambarkan dengan cukup baik dalam film ini. Andrea Di Stefano berhasil menciptakan setting lokasi dan situasi penggambaran kehidupan penjara yang mendekati realita. Isu korupsi dalam penjara serta level bahaya yang harus dihadapi oleh para informan atau ‘orang dalam’ yang membantu para penegak hukum dalam mengungkap kejahatan narkoba digambarkan secara cukup ‘real’ dalam film ini. Hal ini akan membuka mata penonton bahwa kadang untuk mengungkap kejahatan dibutuhkan pengorbanan dan tindakan ekstrim. Walau kurang diimbangi dengan ending yang memuaskan namun The Informer masih layak untuk ditonton karena unsur-unsur dasarnya sebagai drama kriminal masih terpenuhi. Padahal seharusnya The Informer bisa lebih mendapat kedalaman cerita karena potensinya pengembangan ceritanya yang besar.

Overall: 7/10

(By Camy Surjadi)  





Friday, September 20, 2019

ULASAN: RAMBO 'LAST BLOOD'



Sebagai salah satu film yang membesarkan nama Sylvester Stallone dan film legendaris sepanjang masa tidak salah jika penikmat film bersorak ketika Sly mengumumkan sekuel Rambo yang digadang-gadang menjadi penutup Franchise dengan judul Rambo: Last Blood akan rilis, seraya mengingatkan kita akan judul pertama pembuka film Rambo yaitu 37 tahun yang lalu yaitu First Blood (1982). Kehadiran sekuel ini sempat disangsikan karena berita soal produksi film ini sempat on-off selepas film keempatnya di tahun 2008 hingga akhirnya pada Mei 2018 barulah terkonfirmasi bahwa film sekuel terakhir bergenre Action Thriller ini memasuki masa pra produksi. Film ini disutradarai oleh Adrian Grunberg (Wall Street: Money Never Sleeps, Apocalypto, Edge of Darkness) dengan Sylvester Stallone sebagai co-writer. Film ini dirilis di bioskop Indonesia pada 18 September 2019 dan akan dirilis di US pada 20 September 2019. Film ini dibintangi oleh Sylvester Stallone dan didukung oleh para cast yang didominasi oleh aktor/ aktris berkebangsaan Amerika Latin, diantaranya Paz Vega, Sergio Peris-Mencheta, Adriana Barraza, Yvette Monreal. Genie Kim, Joaquin Oslo, dan Oscar Jaenada.



Film Rambo tidak dapat dilepaskan dari kekerasan dan baku tembak mengingat latar belakang karakter John Rambo yang adalah veteran perang. Dalam kisah terakhirnya kali ini diceritakan Rambo telah hidup tenang (seperti yang kita lihat dalam cuplikan adegan penutup dalam Rambo IV) bersama putri angkatnya Gabriela (Yvette Monreal) dan bibi angkatnya Maria (Adriana Barraza) di rumahnya. Rambo menjalani kehidupannya mengurus peternakan dan membangun gua labirin lengkap dengan bunker tempat ia menyimpan segala memorabilia dan perlengkapan militernya. Namun kehidupan tenangnya terusik ketika mengetahui Gabriela pergi ke Meksiko karena mendengar kabar tentang ayah kandungnya telah ditemukan, benar saja Gabriela diculik oleh kelompok kartel di Meksiko untuk dijadikan wanita penghibur. Tidak butuh waktu lama Rambo segera melacak keberadaan putri angkatnya. Dalam pertemuan awalnya dengan para anggota kartel, Rambo mengalami kekalahan dan dirawat oleh seorang jurnalis independen Carmen Delgado (Paz Vega). Setelah pulih dari luka-luka serius yang dialaminya Rambo pun mempersiapkan diri untuk menyelamatkan Gabriela sekaligus membalas dendam terhadap kelompok kartel yang telah melakukan hal keji padanya dan Gabriela. Sekembalinya ke rumahnya di Arizona, Rambo memasang perangkap di seluruh penjuru rumah untuk menanti kehadiran kelompok kartel yang menuntut balas atas kematian salah satu anggota mereka Victor Martinez (Oscar Jaenada). Kelompok kartel tersebut tentunya tidak menyangka bahwa yang mereka hadapi adalah mesin perang yang telah ditempa berbagai konflik dan kekerasan yang tentunya tidak takut mati dan telah mempersiapkan ‘neraka’ untuk mereka.



Salah satu faktor kuat yang membuat penonton ingin menyaksikan kembali sekuel film Rambo adalah faktor nostalgia. Penonton ingin menyaksikan kembali sepak terjang John Rambo dan konflik apalagi yang dihadapinya di dunia yang semakin modern. Dalam sekuel Rambo yang digadang-gadang sebagai film terakhir ini, level kekerasan dan gory-nya tetap berada pada level sangat sadis tetapi dangkal dari segi cerita dan pengembangan karakter. Karakter Rambo di dalam film ini digambarkan tidak seagresif dalam film-film sebelumnya namun tetap mematikan berkat keahlian dan pengalaman perang yang dimilikinya. Untuk ceritanya sendiri mengambil inspirasi dari film Taken namun dengan pendekatan yang berbeda. Jika pada film-film sebelumnya petualangan Rambo selalu ditempatkan di negara dengan tingkat konflik tinggi (Vietnam, Afghanistan, Myanmar) maka di film Last Blood settingnya lebih ‘grounded’ karena konflik tersebut dimulai di Meksiko dan dibawa Rambo ke rumahnya yang berada di Arizona.



Bagian awal film ini memfokuskan pada hubungan Rambo dan putri angkatnya Gabriela yang tujuannya untuk membangun emosi dan kedekatan penonton terhadap kedua karakter ini. Bagian ini boleh dibilang cukup berhasil sehingga penonton akan merasakan efek sentimental terhadap nasib karakter Gabriela dalam perjalanan film ini. Selebihnya penonton akan disuguhkan terhadap aksi brutal dan gore yang memang menjadi keahlian Rambo dalam menghabisi musuh-musuhnya. 30 menit terakhir dalam film menjadi momen gemilang dalam film ini yang bakal memuaskan penonton karena betul-betul menonjolkan gaya khas Rambo, yang kali ini mengubah ladang peternakan dan gua labirin di awal film menjadi jebakan mematikan. Dari segi pace, film ini terasa kurang bertenaga di bagian akhirnya walau didominasi kekerasan karena level konfliknya dipusatkan di bagian tengah film (hal ini terkait erat dengan nasib Gabriela) sehingga bagian final film ini betul-betul berfungsi sebagai penyelesaian saja. Dalam wawancara, Stallone sendiri bercerita bahwa untuk level gore dalam film ini dia tidak mau setengah-setengah karena ia ingin menunjukkan apa akibat yang terjadi ketika peluru kaliber besar ditembakkan ke kepala, bagaimana jebakan mematikan dapat membunuh seketika. Untuk pertama kalinya dalam film Rambo, kita akan melihat gambaran Rambo yang menjalani kehidupan tenang sebagai koboi yang merasakan kedamaian walau hanya sejenak saja di awal film. Juga untuk end credit film ini tidak boleh dilewatkan karena menyajikan flashback adegan-adegan dari film Rambo pertama.



Walau cast film ini didominasi aktor/aktris Amerika Latin, bahkan dialognya pun sebagian besar juga memakai dialog bahasa Spanyol namun kualitas akting mereka tidak diragukan. Stallone di usianya yang menginjak 73 tahun tetap tampil prima dan mengintimidasi lawan-lawannya. Stallone tetap lincah dan gesit dalam beraksi melawan penjahat dan menggunakan senjata-senjata andalannya baik pisau komando, busur, maupun senjata api. Yvette Monreal yang sekilas seperti perpaduan Penelope Cruz dan Ariana Grande cukup mencuri perhatian dan mampu menciptakan chemistry yang baik dalam hubungan sebagai ayah-anak dengan Stallone lewat kepolosannya. Sayangnya karakter penyebab munculnya konflik dalam film ini, sang ayah Miguel yang diperankan Marco de la O, kurang dieksplorasi dan sekedar lewat saja. Padahal jika background karakternya lebih dijelaskan akan lebih menarik. Paz Vega lewat karakter Carmen sang jurnalis juga terbilang dangkal padahal karakternya menarik jika dapat diberi cerita lebih mendalam. Aktris senior Adriana Barazza cukup berkesan dalam film ini sebagai pengasuh Gabriella sekaligus sebagai sosok orang kepercayaan yang dekat dengan Rambo. Untuk karakter antagonis, Martinez bersaudara (Hugo dan Victor) yang diperankan Sergio Peris-Mencheta dan Óscar Jaenada cukup meyakinkan sebagai bos kartel yang keji walau sesekali mereka nampak kartunis. Walau gembong kartel ini memiliki banyak penjahat namun tidak ada yang menonjol selain Martinez bersaudara. Eksplorasi karakter Martinez bersaudara juga cukup minim dalam film ini, sesuatu yang juga cukup disayangkan.



Melalui Rambo: Last Blood, Grunberg sebetulnya mencoba mengangkat isu perdagangan manusia dan potret kartel di Meksiko secara spesifik yang masih merajalela hingga saat ini. Jika di film digambarkan bahwa para kartel seakan tidak tersentuh hukum dan terkenal keji, memang demikian adanya. Banyak kasus penculikan wanita yang dijadikan objek perdagangan manusia tidak tuntas dan lenyap begitu saja tanpa ada penyelesaian yang memuaskan. Yang dilakukan Rambo dalam membasmi kelompok kartel merupakan bentuk protes terhadap sistem hukum yang seakan tidak dapat ‘menyentuh’ dan membereskan sepak terjang para kartel karena memang pada kenyataannya 42 dari 50 kota dengan tingkat kejahatan tertinggi semuanya berada di negara Amerika Latin. Dalam film kali ini yang lebih sentimentil, penonton juga diberi gambaran bagaimana jika hal buruk tersebut menimpa orang yang kita sayangi. Secara kultural boleh dibilang film ini cukup mendiskreditkan penduduk Amerika Latin karena dalam film negara yang berbatasan dengan US ini digambarkan macam “wasteland” dengan tingkat kriminal tinggi dan tidak ada satu pun hal baik padahal tidak demikian karena masih ada kota-kota di Amerika Latin yang aman dan ramai dikunjungi wisatawan. Semua karakter penduduk Meksiko cenderung digambarkan dengan stereotipe negatif sebagai kriminal yang berbahaya. Penggambaran ini perlu disikapi dengan bijak oleh penonton dan tidak diterima bulat-bulat sebagai fakta. Apa yang terjadi dalam film Rambo sepatutnya memberi penonton kewaspadaan sekaligus menimbulkan kesadaran pada semua elemen hukum untuk mengambil langkah efektif dalam menghentikan teror tidak berkesudahan tersebut.

Overall: 7/10
(By Camy Surjadi)




Thursday, September 19, 2019

ULASAN: PRETTY BOYS



Mengikuti perjalanan karir duo sahabat Vincent dan Desta sebagai presenter bagi saya begitu menyenangkan. Saya tidak cukup mengenal mereka saat menjadi anggota band Club 80's, justru image kekonyolan dan kekompakan mereka baru saya temui saat mereka menjadi host badung di acara MTV Bujang. Format program yang hadir tiap hari Kamis siang itu begitu apa adanya khas anak muda, yang saking kocaknya hingga mereka kelepasan bicara di mana dalam keadaan siaran live. Insiden tersebut hampir menggiring mereka ke penjara, diiringi dengan bungkusnya acara tersebut. Pendek cerita, mereka kembali membawakan acara khas banyolan dan lawakan segar mereka lewat Tonight Show yang tayang di Net TV. Rating melejit, meninggikan tingkat persahabatan mereka yang sepertinya tak akan lekang dikubur tanah. Ibarat kata, VinDest adalah satu kata, di mana ada Desta, di situ pula Vincent berada.



Katakanlah saya fans berat mereka. Hingga hingar bingar film Pretty Boys ini mempromosikan diri di dunia digital pun saya ikuti. Bagaimana kekompakan VinDest saat berada di depan kamera TV maupun pada saat menjual film ini sangat kental dan hangat walaupun cara mereka kadang tidak bisa diterima secara verbal oleh yang menontonnya. Pretty Boys bisa dibilang proyek ambisius mereka. Proyek yang mana pertama kalinya mempertemukan mereka di satu film layar lebar sebagai bintang utama. Pertama kalinya Tompi duduk di bangku sutradara. Mereka bahkan bilang tidak perduli dengan banyaknya karcis yang terjual asal visi dan misi film ini sampai dengan baik. Betul, proyek ini ambisius karena mereka dengan lantang mengisukan krisis yang tengah terjadi di pertelevisian Indonesia. TV nasional sudah tidak lagi 'sehat'. Hampir semua program memakai bumbu penyedap agar sajian mereka bisa dikonsumsi orang banyak. Pretty Boys berteriak akan akan hal itu.



VinDest di sini sebagai Anugrah dan Rahmat, sahabat dari kampung yang ke kota untuk mencoba peruntungan nasib. Tujuan mereka dari awal hanya satu, mereka ingin terkenal dan masuk TV. Cita-cita ini tercetus karena bagaimana mereka terkesima dengan Sony Tulung saat membawakan acara kuis Family 1000. Di sisi lain, Anugrah geram dengan sang ayah semakin membulatkan tekad mereka berjudi takdir di kerasnya kota. Momen terkenal akhirnya tercapai, namun tak luput juga problematika baru muncul dengan tumbuhnya kekacauan akan egoisme, penipuan, peliknya cinta segitiga, hingga harus kembali menerima kenyataan bahwa mereka hanyalah kerdil yang ditindih kemewahan duniawi. Mereka nyatanya tidak sanggup mengangkat beban seberat itu.



Saya sangat menyukai film ini. Mungkin, sekali lagi mungkin, karena saya begitu lekat dengan gaya berjenakanya VinDest. Alhasil apa yang mereka pertontonkan di sini sungguh menggelitik urat humoris saya. Tidak ada candaan yang tidak berhasil mereka lontarkan dan saya telan dengan puas hati. Kecerdikan mereka membawa teman-teman artis mereka sebagai pengisi film ini juga bisa dibilang jitu, karena mereka tidak perlu lagi mencari kemistri dan berkat ini semua aktor pendukung maupun kameo bermain pas porsi. Terlebih saat VinDest berkameo menjadi diri mereka sendiri. Tanpa mendiskreditkan Desta, menurut saya Vincent yang paling bersinar di sini. Kenapa? Karena Vincent mendapat bagian bermain drama yang cukup banyak ketimbang Desta. Vincent mensuskseskan tugasnya dengan baik. Adu argumen yang ia lalui bersama aktor kawakan semacam Roy Marten tidak boleh dipandang sebelah mata, karena haru biru dibawakan sangat baik. Dua pemain lagi yang menurut saya berjasa mengangkat jalannya drama film ini selain Roy Marten tadi, adalah Tora Sudiro. Peran singkatnya sebagai waria mengharumkan film ini lebih wangi lagi.



Mari bicara soal Tompi. Di debutnya ini, sang dokter yang juga penyanyi dan sekarang merambah ke dunia penyutradaraan, Tompi tidak hanya menyalurkan bakat fotografinya (saya dengar dia sedang menggeluti dunia fotografi), di sini dia juga mengeluarkan sisi humanis dan aktivisnya yang mungkin saja ia sulit menyuarakan di dunia nyata. Tompi, yang juga sebagai penyumbang ide cerita, membuat karya pertamanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Dia tidak hanya membalutkan dengan komedi, hubungan manusia dengan manusia lainnya ia perlihatkan dengan manis dan menyenangkan. Penataan kamera juga indah. Saya suka sekali adegan Vincent dan Tora Sudiro di rel kereta. Saya suka sekali adegan Desta sendirian di rumahnya. Ditangkap dengan cantik oleh mata kamera.



Pretty Boys adalah bukti bagaimana mereka yang terlibat di sini gerah dengan format acara televisi sekarang ini. Mereka tidak benci (karena mereka mencari makan juga dari TV), hanya saja TV seolah-olah menjeremuskan penonton menjadi manusia yang menerima mentah sebuah informasi dan hiburan. Betul sekali bahwa manusia rusak dari mana saja, tapi tidak bisa dipungkiri bila tayangan TV dewasa ini dibungkus begitu cantik tapi bobot isinya masih patut dibenahi. Pretty Boys adalah kilasan sederhana yang condong mengkritisi daripada menghibur. Syukurlah, keduanya berhasil bagi saya pribadi. Saya tidak akan lelah menonton TV di mana ada VinDest, saya tidak akan lelah menonton TV yang menurut saya menghibur, saya tidak akan lelah menonton TV. Bila akhirnya TV sekarang dilabeli sebagai perusak moral, kembali lagi ke ucapa yang sering didengungkan oleh VinDest 'apakah televisi menodai kita, atau malah kita yang menodai televisi'?


Selamat menonton.

Overall: 8/10

(By: Ruttastratus)

Sunday, September 8, 2019

ULASAN: IT 'CHAPTER 2'





Setelah berhasil memikat pecinta film dan meraih predikat box office horor terlaris peringkat pertama (versi majalah Forbes), sekuel IT yang sudah dinantikan kembali hadir di tahun 2019 ini dengan judul IT: Chapter Two. Film pertamanya (IT – 2017) merupakan kesuksesan besar karena menyajikan cerita adaptasi terbaik, karakter badut Pennywise yang menyeramkan sekaligus ikonik, serta jajaran cast anak-anak yang bermain gemilang. Bahkan Stephen King sang penulis novelnya pun memberikan pujian untuk adaptasi novelnya ke dalam bentuk film karena ia tidak menyangka hasilnya akan sangat bagus. Film IT Chapter Two melanjutkan kisah petualangan The Losers Club kembali ke Derry 27 tahun kemudian setelah mereka menjadi dewasa. Film ini sekaligus merupakan konklusi dari Novel IT yang sebagian kisahnya sudah difilmkan dalam film pertamanya. Untuk sekuelnya ini Andi Muschietti kembali duduk di kursi sutradara dan naskah cerita juga kembali ditulis oleh Gary Dauberman yang juga menulis screenplay untuk film IT pertama. 



Setelah berselang 27 tahun dari petualangan The Losers Club mengalahkan Pennywise/IT (Bill Skarsgård), sang badut Pennywise kembali melancarkan terornya di kota Derry. Anak-anak anggota The Losers Club kini sudah beranjak dewasa dan mereka telah terpisah satu sama lain untuk menjalani kehidupannya masing-masing. Hanya ada satu anak yang tetap tinggal di kota tersebut, yaitu Mike (Isaiah Mustafa) dan Mike menghubungi semua teman-teman masa kecilnya kembali karena anak-anak kembali menghilang pertanda Pennywise kembali beraksi. Awalnya baik Bill (James McAvoy), Beverly (Jessica Chastain), Ben (Jay Ryan), Ritchie (Bill Hader), Eddie (James Ransone), dan Stan (Andy Bean) enggan untuk kembali ke kota Derry namun karena Mike mengingatkan akan sumpah mereka dan bahaya yang mengancam mengusik batin mereka akhirnya satu persatu mereka setuju melakukan perjalanan menuju Derry untuk berkumpul. Dihantui oleh ketakutan dan trauma masa kecil mereka di kota Derry, sekali lagi mereka harus mempersiapkan diri melawan Pennywise yang kali ini sudah menanti mereka dengan penuh dendam. The Losers Club yang kini telah dewasa harus bekerja sama untuk menghentikan teror Pennywise / IT agar tidak kembali berulang sekaligus memusnahkan Pennywise untuk selamanya. Premis ini merupakan adaptasi dari Novel IT (1986) karya Stephen King tetapi untuk versi film cerita lebih difokuskan kepada The Losers Club versi dewasa dengan memakai adegan flashback masa kecil mereka sebagai benang merah pendukung cerita dan tidak mengambil style dari novelnya yang cenderung bolak balik antara masa lalu dengan masa sekarang.



Satu hal yang perlu dikritisi dari IT Chapter Two adalah faktor run time (durasi) film ini yang cukup panjang yaitu 169 menit, cukup melelahkan untuk penonton yang tidak biasa menonton dengan durasi panjang. Hal ini terjadi karena IT Chapter Two memiliki kompleksitas dari segi cerita selain itu sang sutradara juga ingin menyajikan cerita yang lebih kaya tentang persahabatan dan bagaimana akhirya The Losers Club mampu menaklukkan ketakutan terbesar mereka. Semua hal tersebut dibangun secara perlahan dalam cerita dan terlihat sekali bahwa Muschietti memberikan porsi lebih dominan terhadap kisah kekompakan dan persahabatan para personil the Losers Club. Secara keseluruhan film ini merupakan konklusi yang memuaskan dari adaptasi Novel IT dan berhasil memberikan warna berbeda di genre horor namun level horor dan kengeriannya cukup berkurang dibandingkan film pertamanya. Alur ceritanya boleh dibilang lambat dan cukup kental dengan unsur drama ketika menceritakan masa lalu masing-masing personil The Losers Club. Cerita baru mulai menarik ketika mereka mulai bertemu kembali dengan Pennywise dan berbagai wujudnya sebagai hasil manifestasi ketakutan mereka masing-masing. Untuk adegan horornya sendiri ketika Pennywise muncul dan memangsa anak-anak tetap menakutkan dan memiliki efek kejut yang tidak terduga karena seakan memaksa penonton menyaksikan kengerian tersebut tanpa bisa berbuat apa-apa selain hanya menjadi saksi nasib tragis para korban.



Ada baiknya menonton ulang kembali film pertama untuk dapat mengingat karakter-karakter kunci dalam film. Namun usaha yang dilakukan Muschietti lewat introduksi karakter The Losers Club dan latar belakang mereka cukup membantu penonton mengingat karakter-karakternya walau pada kenyataannya tidak semua karakter menonjol dalam cerita. Momen flashback disertai detil penting soal karakter ketika mereka berpetualang mencari artefak masa lalu untuk mengalahkan Pennywise adalah bagian paling menarik dalam cerita film. Karena pada bagian ini kita melihat kepiawaian Muschietti menampilkan cerita lewat transisi dari masa lalu ke masa sekarang. Walau tidak bergenre komedi, Kehadiran Bill Hader lewat karakter Ritchie dewasa di film ini yang bekerja sebagai stand-up comedian mampu menghibur penonton di kala situasi mencekam. Cameo Stephen King dalam salah satu adegan di film merupakan kejutan yang menarik dan tidak boleh dilewatkan.



Untuk desain produksi dan sinematografi film ini patut diberi acungan jempol karena Muschietti merupakan sutradara yang benar-benar memperhatikan aspek visual dalam film-filmnya. Bersama dengan tim kreatifnya yang terdiri dari Checco Varese (Director of Photography), Luis Sequira (Costume Designer), Paul Austerberry (Production Designer), dan Benjamin Wallfisch (Composer), mereka bekerja keras untuk menampilkan visualisasi cerita yang mendukung jalannya cerita dengan samgat baik. Cara Muschietti menampilkan transisi dari tahun 1989 ke masa kini secara back to back sangat berkesan lewat pemilihan line dialog yang terhubung antara karakter dewasa dengan versi muda mereka, dan penggunaan lokasi penting dalam film yang juga ditampilkan lewat flashback serupa cermin masa lalu sesekali dengan metamorfosa wajah karakternya dari versi anak-anak ke dewasa. Transisi ini didukung sinematografi yang apik karena tone warna dan ciri khas masing-masing era ditampilkan dengan tidak kehilangan ciri khasnya. Port Hope, Ontario digunakan sebagai setting lokasi Kota Derry untuk Kedua film IT. Beberapa lokasi penting yang cukup mencuri perhatian dalam film adalah markas bawah tanah tempat berkumpulnya The Losers Club sewaktu mereka kecil, Jade of The Orient tempat the Losers dewasa reuni bersama untuk pertama kali di awal film, dan Karnaval Canal Day Festival di Kota Derry. Scoring musik yang diaransemen oleh Benjamin Wallfisch mampu mendukung setiap momen dalam film secara efektif baik ketika situasi horor maupun ketika momen dramatis yang dialami para karakter saat mengingat hal buruk yang terjadi pada masa lalu mereka. Efek CGI dalam film ini tidak begitu merata karena masih ada yang terasa kasar seperti adegan horor kemunculan monster dari kue keberuntungan di Restoran Jade of The Orient.



Dari segi jajaran cast, Jessica Chastain, Bill Hader, Isaiah Mustafa, Jay Ryan, James Ransone, James McAvoy, dan Andy Bean memainkan karakter mereka dengan baik. Akting mereka sebagai karakter Beverly, Ritchie, Mike, Ben, Eddie, Bill, Stan, Beverly, dan Eddie versi dewasa cukup menarik dan masing-masing memiliki kepribadian sendiri namun kekurangan 'charm' sebagaimana akting para aktor anak-anak yang terlihat lebih kompak dan menghidupi karakter mereka. Untuk karakter The Losers dewasa, karakter Bill, Beverly, dan Ritchie adalah yang paling menonjol sedangkan Stan dan Eddie kurang begitu dieksplorasi. Karakter Ben dewasa kurang menampilkan konflik yang dialami karakternya ketika masih anak-anak. Karakter anak-anak The Losers Club yang kembali diperankan Jaeden Martell (Bill), Sophia Lillis (Beverly), Finn Wolfhard (Richie), Jack Dylan Grazer (Eddie), Jeremy Ray Taylor (Ben), Chosen Jacobs (Mike), and Wyatt Oleff (Stanley) walau hanya bersifat sebagai pendukung namun bertindak sebagai bayang-bayang di sepanjang film. Mereka mengisi adegan-adegan yang tidak tampil dalam film pertamanya yang sekaligus berfungsi sebagai pengingat dan benang merah juga untuk penonton. Kehadiran cast anak-anak ini sangat membantu penonton mengingat detil dan kejadian di film pertamanya dengan tetap menampilkan kehangatan persahabatan di antara mereka. Bill Skarsgård kembali tampil gemilang sebagai Pennywise sang badut jelmaan iblis, seakan peran ini memang tercipta untuknya. Mimik dan ekspresinya sebagai badut Pennywise merupakan salah satu karakterisasi terbaik tokoh jahat dalam film bergenre horor.



Lewat IT Chapter Two, Muschietti mencoba mengangkat isu penting seputar trauma masa kecil, perundungan (bully), dan kekerasan anak-anak khususnya seperti yang dialami oleh Ben dan Beverly yang kerap dialami oleh anak-anak seusia mereka akibat penampilan fisik dan kelakuan mereka yang dianggap tidak dapat menyesuaikan diri dengan komunitas sekitar. Perundungan memang marak terjadi di kehidupan anak-anak dan apa yang digambarkan Muschietti mengingatkan kita bahwa efek hal tersebut dapat menetap menjadi karakter hingga dewasa. Rasa bersalah di masa lalu seperti yang dialami Bill lewat kematian adiknya Georgie seperti sebuah refleksi buat penonton bahwa terkadang kejadian buruk di masa lalu akan selalu menghantui selama Kita belum bisa berdamai dengan kejadian itu. Bagaimana cara kita menyikapi rahasia di masa lalu juga ditampilkan lewat cerita karakter Ritchie. Lewat IT sebetulnya terkandung pesan bahwa setiap pribadi kita punya ketakutan terbesar yang harus dihadapi agar kita dapat bergerak maju. Hal lain yang cukup menonjol dalam cerita yang direpresentasikan dengan sangat baik adalah indahnya persahabatan yang dapat bertahan hingga dewasa dan semua efek nostalgia yang mengikutinya. Menyaksikan bagian ini pastinya akan membawa penonton kembali menyusuri memori tentang sahabat masa kecil dan semua cerita manis di baliknya. Pertanyaan sederhana pun muncul setelah menonton apakah ada sahabat masa kecil yang kita masih berhubungan baik? Mungkin reuni bisa menjadi jawaban untuk mengobati rasa rindu sekaligus mengupdate kabar terkini soal sahabat di tengah dunia yang semakin individualis.

Overall: 7,5/10

(By Camy Surjadi)