Beberapa bulan belakangan ini genre film romantis mulai dari film lokal karya anak bangsa, film Hollywood, ataupun film-film dari Korea yang cukup mendominasi di kalangan generasi muda kerap menghiasi layar bioskop kita. Hadir sebagai alternatif di antara pilihan yang itu-itu saja, film dari negara Perancis berjudul Love at Second Sight (Judul Perancisnya: Mon Inconnue) layak untuk disimak mengingat Perancis adalah kiblat segala hal yang terkait romantisme dan film-filmnya yang terkenal memiliki representasi luar biasa soal cinta. Saya berkesempatan menyaksikan film ini terlebih dahulu sebagai film Pembuka dalam Festival Sinema Perancis ke-6 (6-10 Nov 2019). Film Love at Second Sight dirilis pertama kali di Perancis pada 3 April 2019 dan dirilis di bioskop CGV dan Cinemaxx pada 13 November 2019. Film ini disutradarai dan ditulis oleh Hugo Gélin. Film ini dibintangi oleh François Civil (As Above, So Below - 2014), Joséphine Japy (Respire – 2014), dan Benjamin Lavernhe (C'est la vie ! – 2017).
Cerita dimulai dari masa sekolah dimana Raphaël (François Civil) seorang siswa yang gemar menulis novel fiksi ilmiah tentang karakter Zoltan yang sangat jago dan digandrungi banyak wanita. Namun Raphaël tidak pernah menunjukkan karya novelnya kepada siapapun sampai ia bertemu Olivia secara tidak sengaja ketika ia mendengarnya bermain piano di salah satu ruangan di sekolah. Raphaël terkesan dan memuji permainan Olivia karena ia sangat berbakat tetapi momen pertemuan tersebut harus diinterupsi oleh petugas sekolah yang memergoki mereka. Mereka berdua berhasil kabur namun buku catatan draft novel Raphaël secara tidak sengaja terbawa Olivia. Keesokan harinya Olivia bertemu kembali dengan Raphaël untuk mengembalikan buku catatan tersebut, sejak itu Raphaël memutuskan memasukkan karakter Shadow yang terinspirasi dari Olivia. Seiring waktu berjalan hubungan keduanya pun turut berkembang hingga akhirnya mereka menikah. Berkat bantuan dan dukungan Olivia, Raphaël berhasil menjelma menjadi penulis novel fiksi ilmiah yang terkenal sementara Olivia mengubur impiannya menjadi pianis terkenal dan menjadi guru sekolah musik.
Setelah beberapa waktu menikah, Raphaël menjadi semakin sibuk dengan karirnya sebagai penulis terkenal dan mulai menjauhkan dirinya dari Olivia. Pada suatu hari ketika menulis cerita untuk novel terbarunya, Raphaël memutuskan untuk mematikan karakter Shadow. Di malam pada hari yang sama, Raphaël bertengkar hebat dengan Olivia terkait situasi hubungan mereka. Setelah semalaman dilanda badai salju, Raphaël terbangun dan terkejut menemukan dirinya berada di dunia paralel. Di dunia ini ia tidak pernah bertemu Olivia dan menikah dengannya, hal mengejutkan lainnya adalah ia bukan lagi penulis novel terkenal melainkan seorang guru sastra dan novel fiksi Zoltannya tidak pernah diselesaikan sementara Olivia adalah pianis terkenal dan sukses. Di tengah kebingungan tersebut, ia meminta bantuan sahabatnya Felix (Benjamin Lavernhe) untuk membantunya kembali ke dunia asalnya. Setelah berdiskusi dengan Felix, Raphaël berkesimpulan bahwa ia harus membuat Oliva jatuh cinta kembali kepadanya agar semua kembali ke keadaan semula. Akankah Raphaël berhasil merebut hati Olivia kembali dan berhasilkan Raphaël kembali ke dunianya dan melanjutkan hidupnya sebagai penulis novel sukses?
Film mengalir dengan sangat baik dan tidak membosankan sama sekali untuk ditonton selama durasi 117 menit, genre rom-com yang dipilih sangat efektif dibawakan dalam menunjang narasi cerita film. Awalnya saya berpikir dari sinopsisnya film ini akan jatuh ke drama menye-menye yang bisa membuat hati mengharu-biru namun ternyata tidak demikian, aspek komedi menjadikan film ini lebih dinamis dan hidup. Walau ide ceritanya pernah kita saksikan dalam film-film sejenis tapi berkat akting para pemainnya yang meyakinkan membuat penonton akan terhubung sekaligus tersentuh. Film ini mengambil pendekatan yang sangat bagus dengan berfokus pada perjuangan Raphaël dalam mendapatkan cinta Olivia kembali lewat serangkaian kejadian yang romantis dan terkadang diselingi kekonyolan. Aspek time travel dan parallel universe hanyalah plot device yang digunakan sebagai motivasi sang karakter utama, Raphaël dan bagusnya lagi film ini tidak mencoba memberi penjelasan terlalu rumit soal hal tersebut atau menambah kompleksitas time travel sebagai subplot dalam cerita. Sementara untuk babak akhirnya adalah bagian penting dari kisah ini yang cukup emosional dan ditutup dengan sangat indah. Kalau beberapa Film Perancis memiliki akhir yang absurd namun untuk cerita film ini konklusinya akan memuaskan anda ketika menontonnya.
Film ini hanya berpusat pada 3 karakter utama yaitu Raphaël, Olivia, dan Felix sehingga membuat penonton lebih mudah untuk fokus dan terhubung, penonton dibawa untuk ikut menyaksikan metamorfosis karakter Raphaël dan Olivia dari sejak mereka di bangku sekolah hingga mereka dewasa dan menikah. Ketiga aktor dan aktris yang memerankan karakter mereka mampu menghidupi karakter mereka dengan penjiwaan yang sangat baik. François dan Joséphine tampil meyakinkan sebagai pasangan yang lovable dan sweet, sebagai penonton kita dibuat percaya akan kemesraan dan kedekatan mereka yang ditunjukkan dalam film ini. François sebagai tokoh utama mampu membuat penonton berpihak pada karakternya dalam serangkaian perjuangan yang dilakukannya dan Josephine sebagai love interest sang karakter utama mampu mengimbangi penampilan François dengan karakternya yang sama-sama kuat. Josephine dapat menampilkan transisi karakter di dua dunia paralel sebagai istri Raphaël dan sebagai seorang yang tidak pernah mengenal Raphaël dengan sangat bagus. Namun pujian juga harus diberikan pada Benjamin Lavernhe yang menjadikan film ini lebih hidup, karakter Felix yang diperankannya sukses menjadikan film ini lebih berwarna dan hidup lewat serangkaian adegan komedi bersama karakter Raphaël. Duo François dan Benjamin terbukti bakal mengocok perut penonton lewat dialog kocak mereka ataupun setiap kali mereka bersama dalam satu frame adegan. Fakta bahwa di dunia paralel mereka adalah pemain ping pong pro begitupun fakta bahwa Raphaël adalah seorang womanizer di dunia paralel dieksplorasi dengan sangat menghibur.
Sinematografi dan musik dalam film ini juga patut digarisbawahi. Nicolas Massart menampilkan sinematografi kota Paris yang indah baik di perkotaan maupun di pedesaan, ia mampu menangkap momen-momen romantis antara kedua karakter Raphaël dan Olivia dengan sangat baik. Adegan awal film di mana kita diberikan kilasan-kilasan momen penting dalam perjalanan cinta Raphaël dan Olivia terbukti powerful dan memorable. Cara pengambilan momen yang tediri dari shot-shot singkat tersebut mampu bercerita banyak tanpa bertele-tele sekaligus memperlihatkan pengembangan karakter dengan cukup efektif. Sesuatu hal yang sulit dilakukan namun hal ini mampu dibawakan dengan sempurna di film ini. Apalah artinya film romantis tanpa musik yang mumpuni, scoring dan soundtrack yang dipakai dalm film, yang kebanyakan berbahasa Inggris, terasa hangat dan dekat bagi penonton. Soundtrack film ini dibawakan oleh Sage yang kebanyakan berirama instrumental piano menjadi daya tarik tersendiri sekaligus menambah keindahan cerita film ini.
Melalui film ini, Hugo Gélin berusaha menampilkan isu soal ambisi pribadi versus cinta dan kebersamaan dalam kehidupan pernikahan. Jawaban definitif untuk isu tersebut tidak ditampilkan eksplisit dalam film dan sepenuhnya diserahkan kepada penonton karena tidak akan ada jawaban yang 100% ideal untuk kondisi ini. Hugo Gélin bersama Igor Gotesman (Five) dan Benjamin Parent menulis naskah cerita dengan menggunakan pendekatan komikal untuk karakter Raphaël hingga akhirnya mau tidak mau ia harus menerima kondisinya di dunia paralel yang baru dan mulai berjuang untuk merebut hidup dan cintanya kembali. Film ini juga menggambarkan permasalahan pernikahan di abad modern dengan sangat baik di mana terkadang ambisi mengejar karir menimbulkan jarak dan masalah dalam hubungan itu sendiri. Sejauh mana kita mau berkorban demi keutuhan hubungan ataupun kesuksesan pribadi adalah tantangan yang pasti dihadapi semua pasangan dalam fase hidup mereka. Tema serupa juga dieksplorasi dalam La La Land dengan pendekatan dramatis dan lebih sentimental namun film ini seperti mengkombinasikan cerita dalam 50 First Dates dan Eternal Sunshine of The Spotless Minds dengan hasil akhir yang captivating dan memorable. Kisah dalam film ini juga mengajarkan untuk tidak menyia-nyiakan seseorang yang sudah memberikan hidupnya untuk bersama dengan kita. Tontonlah film ini baik untuk yang sedang sendiri ataupun bersama pasangan tercinta sebagai pengingat mengenai apa sebenarnya prioritas kita dalam menjalin hubungan sekaligus belajar bagaimana mengatasi ego kita.
Overall: 8.5/10
(By Camy Surjadi)