sanggup menghadirkan kengerian dan menimbulkan trauma bagi beberapa orang terhadap boneka. Sebuah film yang mencoba mengeksplorasi keseraman dan teror sebuah boneka kembali disajikan lewat film Brahms: The Boy II yang merupakan sekuel tidak langsung dari film The Boy (2016). Film ini dibintangi oleh Katie Holmes, Ralph Ineson, Owain Yeoman, dan Christopher Convery. Untuk film sekuelnya tetap disutradarai oleh William Brent Bell dengan naskah yang ditulis oleh Stacey Menear. Film ini direncanakan rilis 21 Februari 2020 di US dan telah dirilis di bioskop Indonesia pada 19 Februari 2020 lalu.
Liza (Katie Holmes), Sean (Owain Yeoman), dan anak mereka Jude (Christopher Convery) adalah sebuah keluarga kecil dan bahagia yang hidup di daerah perkotaan di Inggris. Tetapi kejadian perampokan tragis di suatu malam yang menimpa Liza dan Jude merubah hidup mereka, Liza diserang oleh perampok dan Jude menjadi ketakutan setelah peristiwa itu. Mereka berdua menjadi trauma, Liza sering mengalami mimpi buruk dan tidak pernah mau membicarakan hal tersebut dengan Sean sementara Jude mengalami selective mutism dan selalu berkomunikasi lewat buku gambar yang selalu ia bawa ke mana-mana. Sean lalu menawarkan mereka untuk pindah ke pedesaan guna mencari suasana baru dan ternyata mereka pindah ke rumah Heelshire. Setibanya di sana, Jude berkeliling dan menemukan boneka berbentuk seorang anak yang sudah kotor. Katie dan Sean melihat bahwa Jude menyukai boneka tersebut dan mempersilahkannya untuk menyimpannya. Lambat laun Jude terikat dengan boneka yang dinamainya Brahms tersebut. Tanpa disadari banyak peristiwa aneh mulai bermunculan sejak boneka itu dibawa oleh Jude. Katie menemukan fakta bahwa rumah Heelshire dan boneka Brahms tersebut memiliki sejarah kelam dan mengerikan. Sanggupkah Katie dan Sean menguak misteri boneka Brahms tersebut dan menyelamatkan diri mereka sebelum terlambat?
Ketika menonton film ini kebetulan saya belum menonton film pertamanya jadi keesokannya saya baru menonton film pertamanya untuk mengetahui apa kaitan film kedua ini dengan yang pertama dan bagaimana kualitas sekuelnya ini dibanding dengan yang terdahulu. Di kisah film sebelumnya Brahms adalah boneka yang dititipkan kepada seorang pengasuh bernama Greta. Mr dan Mrs Heelshire menitipkan boneka (yang katanya adalah anak mereka) dengan segala peraturan yang harus ditaati untuk mencegahnya marah. Belakangan diketahui bahwa Brahms asli yang dikira sudah tewas ternyata masih hidup dalam sekat dan tembok di rumah keluarga Heelshire dan meneror sang pengasuhnya. Nah di film keduanya ini, yang tidak bisa dibilang sekuel langsung, benang merahnya hanya pada boneka Brahms yang juga digunakan sebagai plot device dalam film, lengkap dengan backstory boneka tersebut. Secara narasi film ini tidak terlalu istimewa karena pengembangan ceritanya yang tetap mengandalkan keseraman boneka Brahms dalam mengganggu kondisi pikiran dan psikis orang-orang yang mengambilnya, adegan horornya pun masih menggunakan metode jumpscare yang sama dan cenderung repetitif seperti di film pertamanya. Yang membedakan sekuel dari film pertama adalah genrenya yang lebih ke horor supranatural kali ini. Alur film ini cenderung lambat dan intensitas ketegangan tidak begitu dibangun dengan baik. Bagian awal banyak diisi adegan yang kurang penting dan adegan klimaks yang menegangkan dalam film baru dimunculkan pada penghujung cerita. Teror yang dilakukan oleh sang boneka pun masih dalam level yang kurang mengerikan karena lebih ke permainan psikologis dan tidak terlalu sadis jika mau dibandingkan dengan Annabelle atau pun Chucky, penonton niscaya akan merasa bosan ketika menonton film ini.
Lewat film kedua ini, Bell mencoba bereksperimen dengan mengubah genre film ini menjadi benar-benar horor yang dipenuhi unsur mistis ketimbang horor thriller, saya tidak paham mengapa Bell mengambil tindakan ini karena genre yang dipilihnya pada film The Boy sudah tepat dan potensial untuk dilanjutkan hanya scriptnya perlu lebih ‘dipoles’ saja. Di film keduanya malah penonton dibuat bingung mengapa bisa boneka Brahms tersebut jadi “berhantu” padahal twist cerita di film pertama akan membuat kita sadar bahwa gangguan yang ditimbulkan boneka tersebut tidaklah nyata. Tidak ada penjelasan lebih jauh mengapa boneka tersebut akhirnya “berhantu” dan selalu menyebabkan anak kecil yang tinggal di rumah Heelshire menjadi psikopat. Inilah letak kesalahan Bell (plot hole) yang menurut saya akan membingungkan penonton yang menonton kedua filmnya. Dari segi akting, praktis hanya Katie Holmes yang dikenal, pemain lainnya adalah pemain yang terkenal di serial TV. Akting semua cast dalam film cukup meyakinkan baik Katie Holmes sebagai Ibu yang berusaha pulih dari trauma, Jude sebagai anak yang bermasalah sehabis melihta kejadian traumatis di depan matanya sendiri, dan Sean sebagai tipikal ayah yang rasional dan tetap berusaha mencari jalan keluar terbaik untuk seluruh anggota keluarganya. Namun sayangnya karakter mereka tidak dapat berkembang lebih dinamis karena plot cerita yang kurang solid.
Terlihat bahwa William Brent Bell dan Stacey Menear mencoba menampilkan masalah domestik keluarga pasca trauma lewat film The Brahms: Boy II ini. Jika di film pertamanya yang lebih banyak disorot adalah bagaimana menjalani kehidupan setelah kehilangan anak maka di film keduanya penonton lebih banyak diperlihatkan soal kondisi keluarga sehabis peristiwa house raid (penyusupan dan perampokan rumah). Sang anak yang mengalami Selective Mutism serta sang ibu yang selalu bermimpi buruk menjadi fokus cerita di sepanjang film yang bertema horor ini. Namun sayangnya proses pemulihan kedua karakter ini cenderung terlalu disederhanakan dan tidak begitu terlihat, kesulitan yang dialami sang ibu tidak terlihat lagi di penghujung bagian akhir film padahal kondisi sang ibu tidak kalah serius dibandingkan sang anak. Pemulihan sang anak terlihat mendapat porsi lebih banyak dan krang berimbang dengan kondisi sang ibu. Kondisi mereka sebetulnya bisa membuat film ini lebih ‘membumi” untuk penonton tetapi sayangnya sisi psikologis tidak begitu banyak digali dan dimanfaatkan untuk memperkaya cerita yang berfokus pada keluarga ini. Film ini cukup efektif sebagai pengingat bahwa trauma dapat memberikan dampak buruk dan merusak jika tidak ditangani dengan baik tetapi untuk solusinya penonton perlu mencari sendiri lebih lanjut.
Overall: 6.5/10
(By Camy Surjadi)